Konservasi
Nelayan Morowali: Antara Rakernis dan Jeritan dari Pesisir yang Terabaikan
SuaraNegeri.info-,Morowali – Suasana Rapat kerja teknis pemerintah Kabupaten Morowali tampak khidmat,Di sana, Wakil Bupati Iriane Iliyas secara resmi membuka Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Bidang Perikanan Tangkap dan Rembuk Nelayan. Dalam pidatonya, pemerintah menegaskan komitmen untuk mendorong kemajuan sektor perikanan melalui berbagai kebijakan strategis: penyediaan sarana prasarana, pelatihan kapasitas, dan pendampingan agar nelayan mampu mengoptimalkan hasil tangkap secara efisien dan ramah lingkungan.
Namun, di luar Ruang Rapat Yang sejuk, ceritanya berbeda. Di pesisir yang jaraknya hanya puluhan kilometer dari pusat keramaian industri nikel, nelayan seperti Pak Amin (bukan nama sebenarnya) sudah hampir tiga jam merapalkan jaringnya. Hasilnya? Cuma beberapa ekor ikan kecil. “Dulu di sini kami bisa dapat banyak. Sekarang air kerap keruh, ikan menjauh. Banyak teman saya yang sudah banting setir jadi kuli atau buruh harian,” ujarnya dengan suara lirih, menatap ke arah mega-kompleks PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP).
Potret kontras ini menggarisbawahi jurang yang dalam antara narasi pembangunan pemerintah dan realitas memprihatinkan yang dihadapi para nelayan tradisional Morowali, yang terhimpit di antara perubahan iklim, dan yang paling kasat mata: dampak ekologis dari industrialisasi besar-besaran.
Program, Regulasi, dan Optimisme
Dalam Rakernis, Menurut Wabup Iriane, berkomitmen untuk terus mendorong kemajuan sektor perikanan tangkap melalui berbagai kebijakan strategis yang berpihak kepada nelayan. Upaya tersebut antara lain penyediaan sarana dan prasarana tangkap yang memadai, pelatihan peningkatan kapasitas sumber daya manusia, serta pendampingan berkelanjutan agar nelayan mampu mengoptimalkan hasil tangkap secara efisien dan ramah lingkungan.
Narasi ini sejalan dengan kebijakan nasional.menyediakan hunian, cold storage, hingga tempat pelelangan ikan modern untuk meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas nelayan.
Selain itu, pemerintah pusat juga mengandalkan Peraturan Pemerintah No.11/2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur (PIT). Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjawab sejumlah persoalan, dengan membagi zona penangkapan dan memberikan kuota. Djoko Arye Prasetyo dari Ditjen Perikanan Tangkap KKP menegaskan, “Khusus untuk nelayan lokal, kami akan berikan izin seluruhnya… itu bentuk keberpihakan pemerintah kepada nelayan kecil”. Kebijakan ini juga diharapkan dapat menanggulangi ancaman bersama seperti Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing yang menyebabkan kerugian ekonomi diperkirakan mencapai Rp101 triliun per tahun.
Namun, pertanyaannya adalah: seberapa efektif program dan janji ini menjangkau dan menyelesaikan masalah akut yang dialami nelayan di garis depan, seperti di Morowali?
Realitas Nelayan: Multikrisis yang Menghimpit
Di lapangan, nelayan tradisional menghadapi badai berbagai masalah yang saling berkait. Analisis risiko menunjukkan bahwa lingkungan kerja nelayan penuh dengan bahaya fisik, kimia, dan biologis,Namun, itu hanyalah permulaan.
Secara umum, nelayan di wilayah wilayah yang menjadi epicentrum hilirisasi nikel mengeluh tentang meningkatnya ongkos operasional akibat harga BBM dan jarak melaut yang semakin jauh karena ikan berkurang atau berpindah. “Semenjak BBM naik, lalu penangkapan ikan semakin jauh, nelayan semakin hitung-hitungan,” . Perubahan iklim dan rusaknya habitat ikan di sekitar area smelter nilkkel dinilai sebagai pemicu utama,dan mengganggu ekosistem, sehingga produktivitas dan keselamatan nelayan tradisional terancam.
Mereka juga harus bersaing tidak sehat dengan kapal-kapal besar, baik legal maupun ilegal. Irvan Imamsyah dari CNN Indonesia menyoroti kesenjangan ini: nelayan kecil dengan kapal 0,3 GT dipaksa “melawan” kapal berukuran di atas 30 GT. Praktik IUU Fishing oleh kapal asing maupun domestik bukan hanya mencuri ikan, tetapi juga merusak habitat dengan alat tangkap destruktif. Data KKP menunjukkan bahwa 191 kapal ikan asing ilegal berhasil ditangkap dalam periode 2020-2025, terutama dari Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Kerusakan terumbu karang dan padang lamun akibat praktik ini mencapai puluhan persen, yang secara langsung memutus siklus hidup ikan.
Kerusakan ekosistem pesisir ini memiliki korelasi langsung dengan pendapatan nelayan. Sebuah kajian literatur menemukan bahwa kerusakan ekosistem seperti terumbu karang dan mangrove dapat mengurangi hasil tangkapan ikan hingga 40% dalam satu dekade, mengancam stabilitas ekonomi masyarakat pesisir.
Morowali: Potret Buram di Tengah Pusaran Industri
Semua masalah nasional tersebut memuncak dalam konteks Morowali. Kebijakan PIT atau Kampung Nelayan mungkin terdengar menjanjikan di Jakarta atau di ruang rapat, tetapi di sini, ancaman terbesar datang dari darat: pencemaran dan degradasi habitat akibat aktivitas industri nikel.
Laporan-laporan independen dari LSM lingkungan dan kesaksian warga menggambarkan situasi yang mengkhawatirkan:
- Penurunan Hasil Tangkapan Drastis: Seperti beberapa nelayan melaporkan penyusutan hasil tangkapan hingga puluhan ton di daerah terdampak. Ikan-ikan besar semakin sulit ditemukan.
- Pencemaran Air dan Habitat: Perairan di sekitar kawasan IMIP diduga tercemar lumpur dan limbah cair panas. Sungai-sungai di area tambang dilaporkan mengandung logam berat, merusak daerah asuhan (nursery ground) dan pemijahan (spawning ground) ikan.
- Perubahan Sosial-Ekonomi Paksa: Hilangnya akses ruang hidup tradisional akibat reklamasi dan menurunnya produktivitas laut memaksa banyak nelayan “banting stir”. Fenomena yang disebut Irvan Imamsyah banyak terjadi di pesisir Jawa ini—nelayan beralih jadi tukang ojek atau buruh harian—terjadi secara masif di Morowali, mengubah struktur sosial masyarakat pesisir yang telah berabad-ada.
Jalan Tengah yang Tertutup Debu Industri?
Pemerintah Kabupaten Morowali melalui Rakernis berjanji pada pendampingan berkelanjutan. Namun, pertanyaannya adalah: pendampingan untuk apa, jika habitat tempat nelayan bergantung rusak?
Model pemberdayaan nelayan yang ideal mungkin bisa dilihat dari contoh di Nusa Tenggara Timur, seperti di Desa Seraya Marannu. Di sana, nelayan didampingi untuk menerapkan praktik perikanan berkelanjutan, menggunakan alat tangkap ramah lingkungan, mencatat hasil tangkapan, dan terhubung dengan pasar yang memberi harga premium untuk kualitas. Kesejahteraan meningkat seiring dengan terjaganya ekosistem.
Di Morowali, pendekatan seperti itu tampaknya mustahil tanpa intervensi serius terhadap akar masalah: penegakan hukum lingkungan yang tegas di kawasan industri. Sementara pemerintah sibuk dengan Rakernis dan Kampung Nelayan, serta memerangi IUU Fishing di laut, ancaman yang sama merusaknya justru berasal dari daratan dan beroperasi dengan izin.
Keberlanjutan sektor perikanan, sebagaimana diamanatkan dalam UU No.31 Tahun 2004, tidak akan tercapai hanya dengan memberikan perahu atau cold storage baru. Nelayan membutuhkan laut yang sehat untuk dikelola. Komitmen “ramah lingkungan” dari pemerintah daerah akan terus diuji di hadapan fakta lapangan: bisakah mereka melindungi ruang hidup dan sumber penghidupan nelayan tradisional dari dampak industri, atau hanya menjadi penonton dalam transisi paksa yang meminggirkan masyarakat pesisir di tanah mereka sendiri?
Dengan berbagai data dan fakta ini, nasib nelayan Morowali tidak hanya bergantung pada hasil rakernis, tetapi pada keberanian politik untuk menyeimbangkan paradigma pembangunan, sebelum jeritan dari pesisir benar-benar hilang ditelan deru mesin industri.