Connect with us

Perubahan Iklim

Di Balik Ambisi Hijau COP30, Nasib Masyarakat Adat Terancam Rantai Pasok Nikel

Published

on

Suaranegeri.info – Ambisi transisi energi global yang digaungkan para pemimpin dunia dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim PBB (COP30) di Belem, Brasil, menyisakan ironi pahit. Di balik janji pengurangan emisi, masyarakat adat di berbagai penjuru dunia justru menjadi korban dari industrialisasi mineral kritikal, seperti nikel, yang menjadi pilar transisi tersebut.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim (JustCOP) menyerukan pesan keras: janji iklim tidak boleh mengabaikan hak dan kehidupan komunitas lokal yang tanah airnya dikorbankan.

Dalam sebuah diskusi bertajuk “Centering Justice and Responsible Critical Minerals Governance” di Paviliun Ford Foundation, organisasi lingkungan Satya Bumi memaparkan bukti nyata dampak mengerikan dari hilirisasi nikel di Indonesia. Kisah itu datang dari Pulau Kabaena di Sulawesi Tenggara dan kawasan industri Pomalaa di Kolaka, yang menjadi mata rantai pasok bagi raksasa otomotif global seperti Volkswagen, Ford Motors, Tesla, BMW, dan BYD.

“Masyarakat Adat Bajau di Kabaena tak lagi bisa mencari ikan sebagai sumber penghidupannya. Air laut kini sudah berubah merah. Anak-anak sudah tak lagi berenang di sana. Laut yang dulu menjadi rumah kini berubah menjadi racun,” tutur Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien, dalam diskusi yang berlangsung pada Rabu, 12 November 2025.

Racun di Dalam Tubuh: Bukti Kesehatan yang Mengkhawatirkan

Dampaknya tidak hanya terlihat di permukaan. Riset terbaru Satya Bumi (2025) mengungkap fakta yang lebih mengerikan: tubuh warga Kabaena telah tercemar logam berat. Hasil uji urin menunjukkan kadar nikel 5 hingga 30 kali lebih tinggi dari populasi umum, dan bahkan 1,5 hingga 10 kali lebih tinggi dari komunitas yang tinggal di dekat kawasan industri nikel aktif.

Tidak berhenti di nikel, urin warga juga mengandung koktail logam berat berbahaya lainnya seperti kadmium, timbal, dan seng. Paparan senyawa-senyawa ini dalam jangka panjang meningkatkan risiko penyakit ginjal, kanker paru-paru, dan kerusakan sistem saraf.

“Untuk itu, perlu kita dorong dunia internasional untuk berhenti mengambil nikel dari pulau-pulau kecil dan menghentikan operasional perusahaan yang tidak bertanggung jawab,” tegas Andi. Duka serupa juga dialami oleh Suku O’Hongana Manyawa di Halmahera, Maluku Utara, yang hidupnya terusir oleh tambang nikel.

Kekosongan Hukum dan Pengabaian Persetujuan Masyarakat Adat

Albert Kwokwo Barume, Pelapor Khusus PBB untuk Hak-Hak Masyarakat Adat, menyoroti akar persoalannya: kekosongan perlindungan hukum.

“Saya melihat kecenderungan negara-negara seolah menahan diri untuk tidak memberikan hak-hak Masyarakat Adat lantaran kekosongan kerangka hukum nasional terkait HAM dalam masalah ini. Ini yang seharusnya dibahas dalam COP30,” kata Barume.

Ia menambahkan, berdasarkan tinjauannya langsung ke Proyek Strategis Nasional (PSN) Poco Leok pada Juli 2025, industri ekstraktif di Indonesia sering kali dijalankan tanpa Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) atau persetujuan awal yang bebas dan diinformasikan dari masyarakat adat. Ketiadaan persetujuan ini berujung pada perampasan tanah, degradasi lingkungan, dan pelanggaran HAM yang sistematis.

Transisi Energi Harus Berlandaskan Keadilan

Menanggapi hal ini, Manajer Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menegaskan bahwa pemerintah harus menempatkan prinsip keadilan iklim sebagai fondasi utama kebijakan transisi energi.

“Transisi energi yang berkeadilan berarti berpindah ke energi terbarukan tanpa mengorbankan ruang hidup dan hak-hak masyarakat,” ujar Iqbal.

Ia menambahkan, “Transisi yang benar harus melindungi hutan dan wilayah adat, menghentikan ekspansi energi fosil, serta memastikan masyarakat terlibat dan mendapat manfaat nyata dari perubahan itu. Jangan atas nama ‘transisi bersih’ kita mengambil tanah, merusak lingkungan, atau menyingkirkan warga dari kehidupannya.”

Iqbal menekankan bahwa keadilan iklim bukan sekadar soal tekad mengurangi emisi, tetapi lebih tentang memastikan kelompok rentan tidak menjadi tumbal kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir elite. Partisipasi bermakna masyarakat adat dan lokal, kata dia, adalah kunci untuk mewujudkannya.

Sebagai penutup, pesan dari Paviliun Ford Foundation di COP30 ini jelas: tidak akan ada transisi energi yang benar-benar hijau dan berkelanjutan jika dibangun di atas penderitaan manusia dan kehancuran lingkungan. Masa depan bumi tidak boleh dibayar dengan mengorbankan para penjaganya.