Connect with us

Energi

PLTU Morowali : Energi untuk Industri, Penyakit untuk Rakyat

Published

on

Suaranegeri.info -Dalam upaya mencapai target nol emisi karbon (net zero emission) pada 2060, pemerintah Indonesia justru membuka ruang bagi beroperasinya Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Captive — pembangkit yang dimiliki industri untuk kebutuhan energinya sendiri. Perpres No. 112 Tahun 2022 memberikan pengecualian bagi PLTU Captive baru, yang kapasitasnya mencapai hampir 30% dari total PLTU di Indonesia.

Namun, di balik kepentingan energi industri, tersimpan dampak serius bagi masyarakat dan lingkungan. Riset terbaru yang dilakukan WALHI Sulawesi Tengah mengungkap kondisi di sekitar PLTU Captive milik PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) di Kabupaten Morowali.

PLTU berkapasitas 350 MW yang terletak di Desa Ambunu dan Tondo, Kecamatan Bungku Barat, ini disebut memicu penurunan kualitas udara, peningkatan penyakit pernapasan, dan kerusakan ekosistem.

Dampak Kesehatan: ISPA Meningkat Drastis

Berdasarkan analisis data kesehatan, terjadi lonjakan kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di wilayah sekitar PLTU. Pada 2022, kasus ISPA atas mencapai 1.200 — naik tajam dari 735 kasus di tahun 2021. Meski turun sedikit menjadi 1.148 kasus pada 2023, angka ini masih jauh di atas kondisi sebelum kehadiran PLTU.

Warga melaporkan gejala seperti batuk kronis, sesak napas, dan iritasi mata. “Udara semakin berdebu dan berasap. Kami terpaksa pakai masker setiap keluar rumah,” ujar Ibu Asmiah, salah satu warga Desa Ambunu. PLTU ini bahkan hanya berjarak sekitar 100 meter dari pagar Sekolah Dasar Alkhairaat, meningkatkan kekhawatiran akan kesehatan anak-anak.

Kerusakan Lingkungan dan Ancaman Ekosistem

Selain polusi udara, aktivitas PLTU dan industri nikel di kawasan itu menyebabkan deforestasi, pencemaran sungai, dan terganggunya habitat lokal. Peta tata ruang menunjukkan bahwa wilayah pertambangan berbatasan langsung dengan kawasan konservasi, termasuk habitat Burung Maleo dan daerah resapan mata air.

“Air sungai yang dulu kami gunakan untuk irigasi dan kebutuhan sehari-hari kini tercemar limbah industri,” keluh Pak Junubi, nelayan setempat. Dampaknya, hasil tangkapan ikan menurun drastis, memukul mata pencaharian warga pesisir.

Minimnya Mitigasi dan Tanggung Jawab Perusahaan

Warga menilai upaya mitigasi dari PT IHIP dan pemerintah setempat sangat tidak memadai. Penyiraman jalan untuk mengurangi debu dinilai tidak efektif, sementara teknologi pengendalian polusi belum diterapkan optimal. “Tidak ada transparansi soal AMDAL. Sosialisasi dampak PLTU sangat terbatas,” kritik perwakilan Warga.

Bahkan, pekerja di PT IHIP seperti Ibu Heny mengaku mengalami gangguan kesehatan akibat lingkungan kerja yang tidak sehat. “Saya sering sesak napas dan akhirnya memilih keluar karena tidak kuat,” ceritanya.

Rekomendasi Mendesak

Riset ini merekomendasikan beberapa langkah segera:

  1. Penerapan teknologi penyaring emisi (filter udara) pada PLTU.
  2. Relokasi PLTU menjauh dari pemukiman warga.
  3. Pembangunan jalur alternatif untuk truk dan kendaraan industri.
  4. Pemulihan ekosistem pesisir dan sungai yang tercemar.
  5. Peningkatan akses layanan kesehatan dan kompensasi bagi warga terdampak.

Kesimpulan

Keberadaan PLTU Captive PT IHIP di Morowali adalah contoh nyata bagaimana kebijakan energi yang tidak selaras dengan perlindungan lingkungan dan hak masyarakat justru menciptakan krisis multidimensi. Jika tidak ada intervensi serius dari pemangku kebijakan, target nol emisi Indonesia akan tetap menjadi wacana.