Sawit
Perluasan Kebun Sawit 600.000 Hektare: Antara Kebijakan B50 dan Krisis Lingkungan
Suaranegeri.info Rencana pembukaan kebun sawit baru seluas 600.000 hektare yang digagas pemerintah Indonesia untuk mendukung kebijakan mandatori B50 menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya deforestasi dan peningkatan konflik sosial. Banyak pihak, termasuk ahli dari Kementerian Pertanian, menyarankan pemerintah untuk lebih fokus pada intensifikasi kebun sawit yang sudah ada, dibandingkan melakukan ekstensifikasi lahan baru.
Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Kementerian Pertanian, Baginda Siagian, menjelaskan bahwa perluasan perkebunan ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan produksi berbagai turunan minyak sawit mentah (CPO) yang meliputi oleopangan, oleokimia, dan biodiesel. Rencana tersebut mencakup 400.000 hektare perkebunan plasma milik petani rakyat dan 200.000 hektare perkebunan inti yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) serta pihak swasta.
Namun, Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, menilai bahwa strategi ini perlu dikaji ulang. Menurutnya, langkah ekstensifikasi berpotensi besar memperburuk kondisi lingkungan dan memperburuk konflik lahan yang sudah ada. “Pemerintah mengambil jalan pintas, sementara target untuk intensifikasi melalui Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) belum sepenuhnya tercapai,” ungkap Surambo.
Berdasarkan analisis Sawit Watch, daya dukung lingkungan Indonesia untuk perkebunan sawit sudah mendekati batas. Dengan luas lahan yang tertanam saat ini sekitar 17,3 juta hektare, ruang untuk ekspansi semakin menyempit. “Khawatirnya, untuk memenuhi permintaan CPO yang meningkat, satu-satunya pilihan adalah membuka hutan alam baru, yang tentunya berisiko menimbulkan bencana ekologis,” tegas Surambo.
Selain dampak lingkungan, rencana ini juga dikhawatirkan akan menaikkan tingkat konflik antara komunitas masyarakat dan perusahaan sawit. Data terbaru mencatat bahwa terdapat 1.126 konflik dalam perkebunan sawit yang melibatkan masyarakat dan 385 perusahaan, tersebar di 22 provinsi. Masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan rentan menjadi korban jika perluasan lahan benar-benar terjadi.
Lebih jauh, implementasi kebijakan B50 berpotensi memperburuk dilema Food vs Fuel. Diperkirakan, kebijakan ini memerlukan tambahan bahan baku Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebesar 19 juta kiloliter, yang bisa berisiko pada kelangkaan dan kenaikan harga pangan, khususnya minyak goreng. “Perebutan CPO dapat mengancam pasokan minyak goreng, sebagaimana yang telah terjadi beberapa tahun lalu,” tambah Surambo.
Menanggapi berbagai permasalahan ini, Sawit Watch mendesak pemerintah untuk meninjau kembali rencana mandatori B50 . Di samping itu, intensifikasi dan peremajaan sawit rakyat harus menjadi prioritas utama untuk memastikan pemenuhan kebutuhan CPO secara berkelanjutan.
Dengan pendekatan yang lebih berkelanjutan dan adil bagi masyarakat kecil, diharapkan kebijakan yang diambil melindungi lingkungan dari dampak negatif yang lebih besar.