Connect with us

Konservasi

Kisah PT Alaska Dwipa Perdana di Morowali: Siklus Pelanggaran, Janji, dan Kemarahan Warga

Published

on

Suaranegeri.info – PT Alaska Dwipa Perdana (ADP), perusahaan tambang yang beroperasi di Desa Salonsa, Kecamatan Witaponda, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, terus menjadi sorotan akibat konflik lingkungan dan sosial yang berlarut. Meski aktivitas penambangannya resmi dihentikan sejak awal 2023, gelombang protes warga, tuntutan hukum, dan upaya perbaikan yang dianggap tidak maksimal menggambarkan kompleksnya persoalan yang terjadi.

Berdasarkan data Kementerian ESDM, perusahaan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP) seluas 480 Ha dengan masa berlaku hingga 16 Oktober 2019 ini dimiliki oleh TP Batu Mumi Bersih Indonesia (51%) dan Han Tao (49%). Susunan direksinya terdiri atas Fan Liangcheng sebagai Komisaris, Chao Wang sebagai Direktur, dan Han Tao sebagai Direktur Utama.

Aktivitas Dihentikan, Lingkungan Jadi Sorotan

Pada 2 Maret 2023, Bupati Morowali secara resmi menghentikan aktivitas penambangan PT ADP. Dinas Lingkungan Hidup Daerah (DLHD) Kabupaten Morowali kemudian memproses pembekuan izin perusahaan, menyusul berbagai temuan pelanggaran lingkungan yang dinilai telah melebihi ambang batas. Sekretaris DLHD Morowali, Anwar Saimu, menegaskan bahwa PT ADP dinilai tidak serius menata lingkungan area tambang, sehingga kerap menimbulkan luapan lumpur yang merusak saat musim hujan.

Penghentian ini tidak serta-merta menyelesaikan persoalan. Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada 3 Desember 2023, masyarakat Desa Salonsa Jaya melalui Forum Peduli Hak-Hak Masyarakat Desa Lingkar Tambang secara resmi melaporkan dugaan pencemaran lingkungan oleh perusahaan dan mitra operasinya kepada Komnas HAM. Sebelumnya, pada 13 November 2023, sejumlah warga dari Desa Ungkaya juga mendatangi kantor perusahaan dengan tuduhan telah merambah lahan.

Dampak Nyata yang Diderita Masyarakat

Laporan masyarakat kepada Komnas HAM merinci berbagai dampak buruk yang mereka alami sejak kehadiran tambang pada 2018:

  • Penurunan Produktivitas Pertanian: Hasil produksi padi sawah turun drastis dari 6,5 ton menjadi 3,5 ton per hektare.
  • Krisis Air Bersih: Sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari dan pengairan sawah rusak dan dijadikan lokasi penambangan, merusak fasilitas air bersih yang sebelumnya dibangun pemerintah.
  • Kerusakan Infrastruktur: Jalan-jalan desa rusak parah akibat sering dilintasi alat berat perusahaan.
  • Penurunan Hasil Perikanan: Produksi tambak ikan, udang, dan rumput laut menurun drastis diduga akibat air yang tercemar lumpur.
  • Pelanggaran Sosial: Lokasi pemakaman umum diduga dirusak dan digali untuk dijadikan tempat penampungan limbah (sediment pond) oleh PT ADP.

Komitmen Perbaikan yang Dipertanyakan

Meski sempat dikabarkan melakukan perbaikan lingkungan di lingkar tambang pada Juli 2023 setelah tujuh bulan tidak berproduksi, komitmen perusahaan terus dipertanyakan. Hal ini tercermin dari kesepakatan yang difasilitasi Bupati Morowali, Drs. Taslim, yang secara tegas mengakui bahwa kerusakan lingkungan merupakan dampak langsung dari kegiatan PT ADP dan mitra operasinya. Perusahaan pun diwajibkan untuk segera melakukan rehabilitasi.

Namun, janji tersebut tampaknya tidak kunjung direalisasikan sepenuhnya. Hingga awal 2024, masalah belum usai. Pada 1 Februari 2024, PT ADP masih menyuarakan harapan agar tidak ada pemblokiran akses dan mendesak agar dana kompensasi dari PT RMA segera dibayarkan.

Eskalasi Konflik Memasuki 2025: Dari Rapat ke Aksi Anarkis

Konflik ini kembali memanas sepanjang 2025. Pada April 2025, Pemerintah Kabupaten Morowali kembali menggelar rapat dengan manajemen PT ADP untuk menindaklanjuti keluhan warga. Rapat yang dipimpin Asisten I Pemerintahan, Ir. Moh Rizal Badudin, menghasilkan sejumlah kesepakatan baru, di antaranya pembangunan tempat penampungan limbah dan normalisasi sungai, pembangunan tanggul, serta perbaikan pipa air bersih yang terdampak.

Akan tetapi, kesabaran warga tampaknya telah habis. Pada Juli 2025, ketegangan memuncak. Warga dari Koropusi yang terdampak banjir lumpur mendatangi kantor PT ADP untuk menuntut kejelasan kompensasi. Kekecewaan atas sikap perusahaan yang dinilai mengulur-ulur waktu memicu aksi anarkis, yang berujung pada pecahnya kaca jendela kantor perusahaan. Aparat kepolisian dari Polsek Witaponda turun ke lokasi untuk mengamankan situasi.

“Kami ini hanya ingin kejelasan dan kejujuran. Kami merasa terus dibohongi,” ujar Bambang, salah satu warga yang terlibat aksi, mencerminkan kekecewaan mendalam masyarakat.

Menanti Penyelesaian yang Berpihak pada Lingkungan dan Rakyat

Kisah PT Alaska Dwipa Perdana di Morowali menjadi contoh nyata betapa kompleksnya operasi tambang ketika berhadapan dengan isu lingkungan dan hak masyarakat. Pola yang terlihat adalah siklus yang berulang: pelanggaran lingkungan, protes warga, peringatan dan kesepakatan dengan pemerintah, diikuti oleh realisasi yang lamban dan eskalasi ketegangan.

Sementara beberapa perusahaan tambang lain di Morowali telah memulai inisiatif tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan rehabilitasi lingkungan yang terukur, komitmen PT ADP masih menyisakan tanda tanya besar. Kepatuhan terhadap perjanjian dan kecepatan dalam merehabilitasi lingkungan menjadi kunci penyelesaian masalah yang berlarut ini. Masyarakat dan pemerintah setempat hingga kini masih menunggu realisasi komitmen perbaikan dari perusahaan, sementara ancaman kerusakan lingkungan dan kerugian sosial terus berlanjut.