Connect with us

Sawit

Kekerasan dan Kriminalisasi Pada Petani Meningkat

Published

on

Suaranegeri.info – Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA) mengungkapkan terjadinya peningkatan berbagai kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani, masyarakat adat, dan pejuang lingkungan sepanjang November. Peningkatan konflik agraria ini ditandai dengan sejumlah peristiwa represif, termasuk penembakan lima petani di Pino Raya, Bengkulu Selatan.

Menurut KNPA, rentetan peristiwa ini mencerminkan bahwa kekerasan dan tindakan represif masih terus terjadi dan meluas di lapangan. Hal ini diakibatkan oleh tidak adanya kanal penyelesaian konflik agraria yang sistematis dan komprehensif.

Beragam Kasus Kekerasan dan Kriminalisasi

Setidaknya terjadi sembilan kasus kriminalisasi dan kekerasan yang tercatat. Pelakunya didominasi oleh aparat kepolisian dan security perusahaan. Para korban umumnya sedang memperjuangkan hak atas tanah mereka dari perampasan yang dilakukan perusahaan negara, swasta, maupun proyek Proyek Strategis Nasional (PSN).

Beberapa kasus yang mencuat antara lain:

  • Kriminalisasi empat petani di Cot Girek, Aceh Utara, yang berkonflik dengan PTPN IV.
  • Kriminalisasi 15 petani di Sumedang, Jawa Barat, yang berkonflik dengan PT. Subur Setiadi.
  • Ancaman perampasan tanah terhadap petani di Cianjur, Jawa Barat, untuk proyek geothermal PT Dayamas Geopatra Pangrango.
  • Kriminalisasi dua petani di Kendal, Jawa Tengah, dari Paguyuban Petani Kawulo Alit Mandiri.
  • Kriminalisasi petani di Ijen, Bondowoso, terkait sengketa dengan PTPN XII.
  • Kriminalisasi 14 warga dan aktivis di Banggai, Sulawesi Tengah, yang memprotes PT. Sawindo Cemerlang.
  • Kekerasan dan ancaman kriminalisasi di Dairi dan Toba Samosir akibat konflik agraria dengan PT Toba Pulp Lestari dan PT Gruti.

Desakan untuk Pansus PKA dan Pembentukan BP-RAN

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, menyatakan bahwa rangkaian kasus ini membuktikan Panitia Khusus Penyelesaian Konflik Agraria (Pansus PKA) DPR RI yang dibentuk pada 2 Oktober 2025 lalu belum menunjukkan kinerja.

“Rentetan tindakan represif dan kekerasan ini merupakan sinyal bahwa DPR RI dan Presiden belum serius menjalankan reforma agraria,” tegas Dewi.

Dewi mendesak Pansus PKA untuk segera bekerja melakukan evaluasi terhadap penanganan konflik agraria. Ia juga mendesak Presiden Prabowo untuk segera membentuk Badan Pelaksana Reforma Agraria Nasional (BP-RAN) guna menuntaskan ribuan konflik agraria yang terjadi.

“Pansus harus mengevaluasi tuntas keterlibatan aparat dan menjamin penarikan pihak keamanan perusahaan dari wilayah konflik agraria,” tuturnya.

Dampak Luas Konflik Agraria

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Boy Jerry Even Sembiring, menegaskan bahwa kesalahan pengelolaan sumber penghidupan oleh negara telah memicu krisis multidimensi. Hilangnya kedaulatan rakyat atas wilayahnya juga berdampak pada penurunan kualitas lingkungan.

Sementara itu, Deputi Sekjen AMAN, Eustobio Rero Renggi, menyoroti bahwa masyarakat adat menjadi kelompok yang paling terdampak. Tindakan represif terhadap mereka dinilai sebagai pengingkaran terhadap konstitusi dan prinsip HAM internasional.

Armayanti Sanusi dari Solidaritas Perempuan menambahkan bahwa kekerasan dalam konflik agraria merupakan manifestasi kekuasaan patriarki yang menimbulkan persoalan struktural berlapis, khususnya bagi perempuan.

Data dari Sawit Watch (SW) memperkuat kompleksitas masalah ini. Hingga 2024, tercatat 1.126 komunitas masyarakat yang berkonflik dengan perusahaan sawit besar. Achmad Surambo, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mendorong penyelesaian konflik agraria secara adil dan setara melalui dialog.

Pembentukan BP-RAN dianggap sebagai sebuah keharusan untuk memastikan penyelesaian konflik agraria, redistribusi tanah, dan pengembangan ekonomi rakyat dapat berjalan secara sistematis dan komprehensif.