Connect with us

Energi

Hilirisasi Nikel dan Realita Pahit Buruh Morowali

Published

on

Suaranegeri.info,-Sebuah laporan berjudul “Sengkarut Perburuhan Nikel di Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP)” yang dirilis oleh Rasamala Hijau Indonesia dan Trend Asia mengungkap bahwa masalah mendasar di IMIP berakar pada sistem ketenagakerjaan yang inkonsisten dan sangat tersentralisasi.

IMIP bertindak sebagai penyalur tenaga kerja utama bagi perusahaan-perusahaan yang beroperasi di dalam kawasannya. Sistem ini memicu dua masalah utama: fleksibilitas mutasi buruh dan instabilitas kontrak kerja.

“Buruh mengalami penurunan kondisi psikososial karena harus terus menyesuaikan diri dengan tempat kerja baru akibat dipindahkan secara sporadis,” jelas Catur Widi dari Rasamala Hijau Indonesia. Mutasi ini sering kali tanpa dokumen komprehensif, hanya dengan formulir yang harus ditandatangani buruh. Menolak berarti ancaman pemotongan upah atau pemaksaan mengundurkan diri.

Pelanggaran Regulasi dan Upah yang Tak Layak

Catur juga menyoroti kemungkinan pelanggaran regulasi. “IMIP menerapkan sistem manajemen terpadu yang berbeda dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah tentang Kawasan Industri. Izin usaha kawasan industri seharusnya hanya mengatur pengelolaan kawasan, bukan ketenagakerjaan perusahaan di dalamnya,
Sebagai perbandingan Kawasan Jababeka MM2100 hanya mengelola kawasan industri, memberi sewa untuk perusahaan dalam kawasan, dan menyediakan infrastruktur. Itu berbeda dengan IMIP ujarnya.

Kebijakan mutasi ini diduga menjadi cara untuk melanggengkan upah rendah, karena menghilangkan jenjang promosi dan kenaikan upah berdasarkan masa kerja. Untuk mendapatkan penghasilan layak, buruh terpaksa mengambil lembur di lingkungan kerja yang berisiko tinggi.

Janji Hilirisasi vs Dampak Sosial-Lingkungan

Novita Indri, Juru Kampanye Trend Asia, mengingatkan bahwa kesejahteraan dari hilirisasi tak bisa diukur dari aspek ekonomi semata. “Keuntungan hanya dinikmati perusahaan, sementara buruh, masyarakat lokal, dan lingkungan yang menjadi korban,” katanya.

Ironisnya, IMIP yang merupakan hasil kolaborasi Tsingshan Group (Tiongkok) dan Sulawesi Mining Investment, adalah produsen komponen baterai kendaraan listrik—primadona industri hijau global. Namun, “kendaraan bebas emisi” ini justru meninggalkan jejak kotor di tempat asal bahan bakunya.

Novita juga menyanggah klaim peningkatan pendapatan dari hilirisasi. “Upah buruh IMIP tampak tinggi karena tunjangan, tetapi upah pokoknya rendah. Ini tak sebanding dengan harga bahan pokok dan BBM yang mahal di Morowali, karena sektor pertanian/perikanan lokal telah tergusur,” tambahnya.

Dampak Lain: Disparitas Gender dan Tekanan Infrastruktur

Laporan tersebut juga menyoroti diskriminasi berbasis gender. Buruh perempuan di IMIP kerap mendapat beban kerja ganda dan upah yang tidak setara dengan rekan pria.

Kehadiran IMIP juga membawa perubahan drastis bagi wilayah Bahodopi, Morowali. Lonjakan penduduk tak diimbangi pembangunan infrastruktur yang memadai. Kemacetan parah di jalan berlubang, minimnya transportasi publik, dan buruknya sanitasi menjadi pemandangan sehari-hari, mengindikasikan rendahnya kualitas hidup masyarakat sekitar meski angka kemiskinan tetap tinggi.

Diperlukan Advokasi Sistematis

Laporan ini mengonfirmasi bahwa di balik narasi besar peningkatan ekonomi nasional, terdapat harga yang harus dibayar oleh para buruh dan masyarakat lokal. “Proyek ini sangat diistimewakan, tapi pelanggarannya dianggap biasa. Buruh dipaksa memaklumi ketidakadilan,” pungkas Novita. Oleh karena itu, advokasi yang lebih sistematis dan pengawasan ketat terhadap implementasi standar K3 serta hak-hak buruh di kawasan industri strategis seperti IMIP menjadi keniscayaan agar janji hilirisasi tidak hanya menjadi mimpi bagi segelintir pihak.