Konservasi
Hampir 1000 Tewas: Mencari Akar Bencana Ekologis di Sumatera
Laporan Khusus – Senin, 8 Desember 2025
Gambaran Korban dan Kerusakan yang Memilukan
Data terbaru dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 8 Desember 2025, mengungkapkan dampak kemanusiaan yang sangat besar dari bencana banjir dan tanah longsor di Sumatra.
- Korban Jiwa: Lebih dari 921 hingga 950 orang dilaporkan meninggal dunia di tiga provinsi terdampak (Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat).
- Korban Hilang & Luka: Sekurangnya 274 orang masih dinyatakan hilang, dan sekitar 5.000 orang menderita luka-luka.
- Pengungsi: Lebih dari 850.000 warga terpaksa mengungsi, meninggalkan rumah mereka yang rusak atau terendam.
- Kerusakan Infrastruktur: Lebih dari 156.000 unit rumah rusak, bersama dengan fasilitas umum, sekolah, dan jalan. Pemerintah memperkirakan biaya pemulihan mencapai Rp 51,82 triliun.
Di tengah upaya tanggap darurat yang berjibaku—dengan laporan ketimpangan distribusi bantuan dan minimnya personel—analisis mendalam justru mengarah pada akar masalah yang lebih sistemik.
Analisis: Lonjakan Deforestasi Pasca Izin PBPH 2021
Bencana ekologis ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Sebuah analisis terhadap perizinan kehutanan menunjukkan korelasi yang mengkhawatirkan. Di tiga provinsi terdampak, terdapat 31 izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang beroperasi di lahan seluas 1.019.287 hektare.
Sumatera Utara, yang mencatat korban jiwa mencapai 329-338 orang, juga menjadi wilayah dengan kepadatan PBPH tertinggi: 15 izin dengan luas 592.607 hektare. Izin-izin ini secara keseluruhan diterbitkan pada 2021. Tahun berikutnya, data menunjukkan lonjakan deforestasi yang signifikan dari 414.295 hektare (2021) menjadi 635.481 hektare (2022).
“Kami heran dengan pernyataan Menteri Kehutanan yang membanggakan angka deforestasi turun di daerah bencana. Padahal penurunannya tidak signifikan dibanding tren peningkatan drastis sepanjang 10 tahun terakhir. Dampak kumulatifnya terasa hari ini,” tegas Amalya Reza, Manager Kampanye Bioenergi Trend Asia, Jumat (5/12/2025).
Deregulasi dan Eksploitasi Berlebihan
Para ahli lingkungan menghubungkan titik kritis ini dengan gelombang deregulasi yang terjadi beberapa tahun terakhir. Pengesahan revisi UU Minerba hingga Omnibus Law UU Cipta Kerja dinilai telah mempermudah investasi dengan mengorbankan prinsip keberlanjutan lingkungan.
“Bencana yang merenggut ratusan jiwa ini adalah konsekuensi dari kebijakan yang berorientasi pada keuntungan jangka pendek,” jelas Amalya. Kebijakan tersebut, ditambah dengan fenomena iklim seperti La Niña dan Siklon Senyar, menciptakan badai yang sempurna: kerentanan ekologis yang tinggi bertemu dengan curah hujan ekstrem.
Tindakan Tegas dan Evaluasi Total
Oleh karena itu, di samping fokus tanggap darurat, para peneliti mendesak tindakan korektif yang mendasar. Zakki Amali, Manager Riset Trend Asia, menegaskan bahwa pemerintah harus berani meninjau ulang kebijakan yang menjadi akar masalah.
“Pemerintah harus mengevaluasi semua perizinan serta mencabut izin perusahaan bermasalah yang terbukti melanggar dan memicu bencana. Pemerintah pusat juga harus menetapkan bencana banjir di Sumatera sebagai bencana nasional. Keselamatan rakyat harus diutamakan,” tegas Zakki.
Data korban jiwa yang mencapai hampir seribu orang dan kerugian ekonomi puluhan triliun rupiah memperjelas bahwa ini bukan lagi sekadar bencana alam biasa, melainkan sebuah bencana ekologis dengan akar kebijakan. Pemulihan jangka panjang tidak akan berarti tanpa evaluasi menyeluruh terhadap model pengelolaan sumber daya alam dan perizinan yang berlaku saat ini.