Connect with us

SULTENG

Gelombang TKA dan Pengawasan yang Lamban di Morowali

Published

on

Suaranegeri.info – Kompleks industri nikel PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) di Sulawesi Tengah kembali menjadi sorotan tajam para analis kebijakan publik. Muhammad Said Didu, Analis Kebijakan Publik dan mantan Sekretaris Kementerian BUMN, serta ekonom Ichsanuddin Noorsy memberikan penilaian kritis terkait tata kelola, pengawasan, dan transparansi di kawasan strategis tersebut.

Kritik ini mengemuka pasca pemutaran rekaman wawancara eksklusif dengan mantan karyawan PT IMIP yang mengungkap sejumlah kondisi operasional. Dalam siaran Rakyat Bersuara , Said Didu memaparkan bagaimana masalah bandara, pelabuhan, dan arus Tenaga Kerja Asing (TKA) saling berkaitan dan mencerminkan lemahnya kehadiran negara.

Pelabuhan: Sumber Risiko Terbesar?

Ekonom Ichsanuddin Noorsy, yang juga membuka suara , memperkuat analisis dengan fokus berbeda. Ia menyatakan bahwa isu bandara hanyalah gejala awal dari masalah yang lebih mendasar.

“Yang paling berbahaya menurut saya justru isu seaport (pelabuhan laut), ujungnya soal bea cukai dan imigrasi,” tegas Ichsanuddin.

Ia menyoroti bahwa pelabuhan di kawasan IMIP diduga beroperasi tanpa pengawasan yang memadai dari instansi bea cukai dan imigrasi. Kondisi ini menciptakan celah risiko yang sangat besar, mulai dari potensi penyelundupan barang hingga lalu lintas orang yang tidak terkendali.

Akses Terbatas, Pejabat pun Sulit Masuk

Ichsanuddin juga mengungkap tingkat ketertutupan kawasan IMIP yang ekstrem. Ia menyebut bahwa akses ke area industri tersebut sangat dibatasi, bahkan bagi pejabat negara.

“Bupati maupun gubernur pun tidak bisa masuk ke area tersebut,” ungkapnya. Fakta ini semakin mengukuhkan tesis tentang lemahnya kedaulatan dan pengawasan negara di wilayah industri strategis tersebut.

Bandara dan Regulasi yang Tidak Transparan

Said Didu menyoroti perubahan mendadak dalam regulasi status bandara di kawasan IMIP. Pembatalan izin bandara dalam waktu singkat tanpa penjelasan yang jelas, menurutnya, merupakan indikasi serius adanya masalah dalam proses pengawasan dan transparansi.

“Ini menunjukkan adanya persoalan serius pada proses pengawasan dan transparansi,” ujar Said Didu. Ia menegaskan bahwa bandara yang posisinya tidak transparan dan sulit diawasi telah menyalahi prinsip dasar sistem penerbangan nasional.

Gelombang TKA dan Kawasan yang Tertutup

Persoalan lain yang mencolok adalah besarnya arus masuk Tenaga Kerja Asing. Said Didu mengkritik kompleks industri yang selama bertahun-tahun dikabarkan memiliki akses dan pengawasan publik yang sangat terbatas. Ia menyebut rekrutmen TKA dalam skala besar terus berlanjut dengan pola yang mengkhawatirkan.

“Data yang saya punya, mereka masih merekrut di bulan September 2025, dengan gaji minimal 8.000 yuan sampai di atas 20.000 yuan,” ungkapnya. Menurutnya, besarnya jumlah TKA yang didatangkan berbanding terbalik dengan minimnya akses dan pengawasan negara di kawasan tersebut.