Connect with us

Perubahan Iklim

COP30: Komitmen Iklim Indonesia Dipertanyakan, Greenpeace Soroti Kontradiksi dan Solusi Palsu

Published

on

Suaranegeri.info – Konferensi Iklim PBB (COP30) yang berlangsung di Belém, Brasil, menjadi ajang ujian bagi komitmen iklim Indonesia di hadapan dunia internasional. Namun, di balik janji-janji yang disampaikan, Pemerintah Indonesia justru dituding membawa solusi palsu dan penuh kontradiksi dalam menghadapi krisis iklim.

Kritik ini disampaikan oleh Greenpeace Indonesia menanggapi pidato Utusan Khusus Presiden Bidang Iklim dan Energi, Hashim Djojohadikusumo, dalam Leaders Summit pada 6-7 November 2025, yang merupakan pertemuan pendahuluan menuju COP30.

Pidato Ambisius vs Realita Kebijakan

Dalam pidatonya, Hashim menegaskan komitmen Indonesia untuk memperkuat aksi iklim yang nyata, inklusif, dan ambisius. “Periode negosiasi iklim yang panjang sudah lewat, kini saatnya aksi nyata,” ujarnya.

Namun, menurut Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, pernyataan tersebut bertolak belakang dengan fakta di lapangan. “Pidato Hashim penuh kontradiksi jika disandingkan dengan dokumen Second NDC dan situasi riil di Indonesia,” kata Leo dalam keterangan tertulis, Sabtu (8/11/2025).

Leo menyoroti sejumlah kebijakan yang justru dinilai memperburuk krisis, seperti keengganan bertransisi dari energi fosil, pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan monokultur, dan rencana adopsi energi nuklir.

Solusi Palsu dan Target yang Jauh dari Realita

Hashim menyebutkan sejumlah rencana pemerintah yang oleh Greenpeace dikategorikan sebagai solusi tidak nyata. Kebijakan untuk mengurangi—bukan menghentikan—penggunaan batu bara dinilai tidak sejalan dengan target net zero emission 2060.

Sementara itu, meski menyinggung target bauran energi terbarukan 23% pada 2030, realitasnya pengembangan energi terbarukan masih stagnan di 14,65%. Angka ini juga jauh dari janji Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai 100% energi terbarukan pada 2035.

Dana untuk Hutan Tropis dan Ancaman bagi Masyarakat Adat

Salah satu poin yang menonjol dalam pidato Hashim adalah dukungan Indonesia terhadap inisiatif Tropical Forest Forever Facility (TFFF) dengan kontribusi US$1 miliar.

Rayhan Dudayev, Ketua Tim Politik untuk Kampanye Solusi Hutan Global Greenpeace, mengingatkan bahwa TFFF mensyaratkan alokasi 20% dana langsung untuk masyarakat adat. “Jika pemerintah terus merampas hak-hak Masyarakat Adat, sebesar apa pun kontribusi Indonesia di TFFF akan jadi performatif belaka,” tegas Rayhan.

Kritik juga datang dari Khalisah Khalid, Ketua Kelompok Kerja Politik Greenpeace Indonesia, yang menyoroti dampak pengembangan biodiesel dan bioetanol. Saat Hashim berbicara di COP30, masyarakat adat di Papua justru mengalami perampasan tanah untuk proyek energi dan pangan.

Deforestasi yang Masih Berlanjut

Pemerintah kerap membanggakan penurunan deforestasi hingga 75% dibandingkan 2019. Namun, Syahrul Fitra, Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia, menegaskan bahwa “naik-turun itu hanya bacaan statistik.”

Faktanya, dalam satu dekade terakhir, Indonesia telah kehilangan hampir 3,5 juta hektare hutan, setara dengan enam kali luas Pulau Bali. Laju deforestasi tahunan bahkan menunjukkan tren meningkat sejak 2022.

Tuntutan untuk Aksi Nyata

Dengan suhu Bumi yang telah melewati batas 1,5°C secara temporer, Greenpeace menegaskan bahwa komitmen global untuk menghentikan deforestasi pada 2030 harus diwujudkan dengan aksi nyata.

“Jika pemimpin dunia tidak berkomitmen menghentikan deforestasi, COP30 ini bisa dikatakan gagal,” pungkas Rayhan Dudayev. Masyarakat Indonesia, yang sudah merasakan langsung dampak krisis iklim, membutuhkan lebih dari sekadar janji kosong di panggung internasional.