Connect with us

Hutan

Banjir Bandang Sumatera: Dosa 631 Perusahaan yang Merusak Hutan

Published

on

Suaranegeri.info – Pulau Sumatera kembali menghadapi bencana hidrometeorologi yang semakin masif. Di balik frekuensi dan intensitas banjir yang meningkat, tersembunyi akar masalah yang dalam: kerentanan ekologis yang kian parah akibat perubahan bentang alam dan diperburuk oleh krisis iklim. Data terbaru mengungkap fakta mengerikan: dalam periode 2016-2025, seluas 1,4 juta hektar hutan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah hilang akibat deforestasi.

Hilangnya Benteng Ekologis Bukit Barisan

Bencana banjir di tiga provinsi ini secara dominan bersumber dari Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yang hulunya berada di bentang hutan Bukit Barisan, tulang punggung ekologis Sumatera. Ketika hutan di hulu hilang, fungsi alamiahnya sebagai penyimpan air dan pengendali aliran permukaan pun lenyap, berubah menjadi ancaman banjir bandang di hilir.

Ekosistem Kritis Batang Toru Terancam

Di Sumatera Utara, wilayah terdampak parah justru berada di sekitar Ekosistem Batang Toru (Harangan Tapanuli), rumah terakhir orangutan Tapanuli yang kritis. Kabupaten Tapanuli Selatan, Tengah, Utara, dan Kota Sibolga menjadi langganan banjir. Faktanya, ekosistem vital ini telah kehilangan 72.938 hektar hutannya selama 2016-2024. Kerusakan besar ini disebabkan oleh operasi 18 perusahaan dengan berbagai izin.

954 DAS, 60% di Kawasan Hutan, dan Kondisi yang Memprihatinkan

Aceh, dengan 954 DAS (60%-nya di kawasan hutan), menghadapi tekanan ekologis yang luar biasa. Sebanyak 20 DAS telah masuk kategori kritis. Kerusakan yang terjadi sungguh masif:

  • DAS Krueng Trumon (53.824 Ha): Kehilangan 43% tutupan hutan (2016-2022), kini hanya tersisa 57%.
  • DAS Singkil (1,24 juta Ha): Dalam 10 tahun terakhir, degradasi mencapai 66% atau seluas 820.243 hektar. Tutupan hutan pada 2022 hanya tersisa 421.531 hektar.
  • DAS Peusangan (245.323 Ha): Menanggung kerusakan terparah, mencapai 75,04%.
  • DAS Lainnya: DAS Jambo Aye rusak 44,71%, Krueng Tripa 42,42%, dan Tamiang 36,45%.

Ancaman di Depan Pintu Kota Padang

Di Sumatera Barat, DAS Aia Dingin yang menjadi salah satu penyangga utama Kota Padang, seluas 12.802 hektar, juga tak luput dari degradasi. Hulu DAS yang seharusnya menjadi benteng konservasi di Bukit Barisan justru mengalami kerusakan parah. Sepanjang 2001-2024, DAS ini kehilangan 780 hektar tutupan pohon, dengan mayoritas deforestasi terjadi justru di wilayah hulu yang vital. Kondisi ini meningkatkan kerentanan Padang terhadap banjir bandang.

631 Perusahaan dengan Berbagai Izin

Lalu, siapa yang bertanggung jawab atas hilangnya 1,4 juta hektar hutan dalam kurun kurang dari 10 tahun tersebut? Data menunjukkan bahwa deforestasi besar-besaran ini terkait erat dengan aktivitas 631 perusahaan pemegang izin, mencakup sektor tambang, perkebunan sawit (HGU), pemegang izin pemanfaatan hutan (PBPH), geotermal, hingga pembangkit listrik tenaga air (PLTA/PLTM).

Operasi mereka mengubah lanskap hutan yang stabil menjadi lahan terbuka dan monokultur yang rentan erosi. Saat hujan deras datang—yang kini semakin intens akibat perubahan iklim—air tidak lagi diserap oleh akar pepohonan, melainkan langsung meluncur deras membawa lumpur dan material lain ke pemukiman di hilir.

Restorasi dan Tindakan Ekologis Mendesak

Para ahli ekologi dan manajemen bencana terus menyuarakan bahwa banjir di Sumatera bukan lagi semata-mata bencana alam, melainkan bencana ekologis yang diakselerasi oleh ulah manusia. Penegakan hukum terhadap perizinan dan audit lingkungan yang ketat menjadi keharusan.

Di sisi lain, upaya restorasi DAS kritis dan rehabilitasi hutan di wilayah hulu harus menjadi program prioritas. Masyarakat di hulu juga perlu dilibatkan dalam skema perlindungan hutan yang memberikan manfaat ekonomi berkelanjutan.

Jika laju deforestasi dan degradasi DAS ini tidak dihentikan, bukan hanya ancaman banjir yang akan memburuk, tetapi juga krisis air, kekeringan, dan hilangnya keanekaragaman hayati akan semakin nyata menghantui kehidupan jutaan masyarakat Sumatera. Waktu untuk bertindak dan memulihkan alam semakin sempit.

Sumber (WALHI )