Konservasi
Aksi Hakordia Soroti Kemunduran Pemberantasan Korupsi Era Prabowo-Gibran
Suaranegeri.info – Memperingati Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia), koalisi masyarakat sipil menggelar aksi teatrikal di depan Gedung Sarinah, Jakarta Pusat, Selasa (9/12/2025). Aksi ini menyuarakan kekecewaan mendalam terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang dinilai telah memperburuk situasi pemberantasan korupsi hanya dalam waktu satu tahun memimpin.
Dalam orasi dan pernyataan sikapnya, koalisi menegaskan bahwa rezim Prabowo-Gibran telah mengingkari janji kampanye dan memukul mundur agenda reformasi. Pola-pola Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang pernah menyuburkan era Orde Baru justru dirawat dan dinormalisasi dalam tata kelola pemerintahan saat ini.
Tiga Pola Penggerusan Sendi Demokrasi dan Antikorupsi
Koalisi mengidentifikasi setidaknya tiga pola umum yang menggerus sendi pemerintahan demokratis:
- Normalisasi Konflik Kepentingan yang kian vulgar, termasuk di tingkat kabinet.
- Sentralisasi Kekuasaan Eksekutif oleh presiden yang mengacaukan checks and balances.
- Penggencaran Politik Patronase dan Kronisme, atau politik “bagi-bagi kue” untuk orang dekat.
“Di satu sisi menyerukan perang melawan korupsi, di sisi lain mesra dengan praktik patronase dan kronisme. Inilah titik lemah yang terus berulang,” demikian penilaian koalisi dalam siaran persnya.
Kabinet “Tergemuk” dan Wakil Menteri Merangkap Jabatan
Koalisi menyoroti komitmen antikorupsi yang dianggap hanya sebatas janji. Sejak dilantik, pemerintahan ini mencatatkan sejarah dengan membentuk kabinet tergemuk sepanjang era reformasi, dari 34 menjadi 48 kementerian dengan 56 wakil menteri.
Berdasarkan pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) per 8 September 2025, terdapat 42 wakil menteri yang merangkap jabatan. Kondisi ini tidak hanya berpotensi boros anggaran, tetapi juga memunculkan pertanyaan besar soal kompetensi dan konflik kepentingan yang melekat.
Proyek Prioritas Jadi Instrumen Patronase?
Kebijakan awal Presiden Prabowo memangkas anggaran negara sebesar Rp306,69 triliun melalui Inpres No. 1/2025. Koalisi menilai, pemotongan yang berdalih efisiensi ini lebih tepat disebut untuk membiayai program prioritas yang justru menjadi instrumen patronase.
Dua proyek yang disoroti adalah:
- Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan anggaran Rp71 triliun (2025) yang akan dinaikkan lima kali lipat pada 2026. Koalisi menemukan indikasi proyek ini banyak menguntungkan segelintir pihak di balik yayasan pengelola SPPG, dimana 27 yayasan terafiliasi dengan partai politik, mayoritas dari Partai Gerindra.
- Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) yang dibekali kewenangan menguasai BUMN dan aset senilai US$ 1 Triliun. ICW menemukan 24 dari 31 individu di struktur Danantara masuk kategori Politically Exposed Person (PEP), dengan 7 di antaranya memiliki afiliasi politik aktif.
Intervensi Hukum dan Pengaburan Sejarah Korupsi
Koalisi juga mengkritik keras intervensi di bidang penegakan hukum. Meski berjanji tidak mengintervensi, Prabowo justru menjadi presiden pertama yang memberikan amnesti, abolisi, dan rehabilitasi kepada terpidana korupsi yang kasusnya belum inkracht.
Langkah kontroversial lainnya adalah penganugerahan gelar pahlawan nasional kepada Presiden ke-2 Soeharto, mantan mertua Prabowo. Sebelumnya, pemerintahan juga merevisi Ketetapan MPR tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan menghapus nama “Soeharto” dari pasal yang menjadi landasan pengusutan korupsi era Orde Baru.
Dampak Nyata: Bencana Ekologis dan Kriminalisasi Suara Kritis
Koalisi menghubungkan tata kelola yang sarat konflik kepentingan dengan bencana ekologis. Hasil penelusuran JATAM Nasional mengungkap, salah satu daerah terparah terdampak banjir bandang di Aceh dikepung izin konsesi yang memicu deforestasi. Salah satu perusahaan pemegang konsesi, PT Tusam Hutani Lestari, diduga dimiliki langsung oleh Presiden Prabowo dan menguasai 97 ribu hektare hutan.
Di sisi lain, ruang sipil justru menyempit. Data Gerakan Muda Lawan Kriminalisasi (GMLK) mencatat sedikitnya 533 kasus kriminalisasi terhadap mahasiswa, aktivis, jurnalis, dan warga. Sementara Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD) mencatat sekitar 616 korban hilang dan ditangkap pasca aksi pada Agustus-September 2025.
Dua Belas Tuntutan untuk Penyelamatan Agenda Antikorupsi
Berdasarkan kondisi tersebut, koalisi masyarakat sipil melayangkan 12 tuntutan mendesak, antara lain:
- Hapuskan sistem politik oligarkis dan pengaruh elite bisnis.
- Bersihkan KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan lembaga peradilan dari intervensi.
- Revisi UU KPK untuk kembalikan independensinya.
- Perkuat instrumen hukum antikorupsi (Revisi UU Tipikor, RUU Perampasan Aset, dll).
- Hukum pelaku korupsi dari militer di pengadilan sipil.
- Tegakkan hukum pidana lingkungan secara tegas.
- Bebaskan kebijakan dan anggaran dari konflik kepentingan.
- Permudah syarat pendirian partai politik dan musnahkan kartel partai.
- Jalankan putusan MK tentang penghapusan ambang batas pemilu (parliamentary threshold).
- Rombak total kabinet, hentikan rangkap jabatan dan politik “bagi-bagi kue”.
- Hentikan kebijakan bermasalah seperti MBG dan Danantara yang berpotensi korup.
- Hentikan pembungkaman ruang sipil dan bebaskan aktivis, jurnalis, serta warga yang dikriminalisasi.
Aksi ini menegaskan bahwa pemberantasan korupsi membutuhkan lebih dari sekadar instrumen hukum, tetapi juga komitmen politik kuat dan partisipasi publik yang dilindungi. Tanpa itu, agenda antikorupsi dinilai hanya akan menjadi angan-angan yang rapuh.